Nukilan Al Qur-aan hari ini

Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa (QS. Al Baqarah: 21)

Kamis, 22 September 2011

Kemiskinan yang "Menguntungkan" dan "Menghibur"


Tulisan ini mengalir begitu saja, dan bukan didasari  ilmiah. Hanya sekelumit pemikiran yang mungkin tidak terlalu terarah dengan baik.
Berawal dari nonton acara di sebuah stasiun televisi yang mengisahkan cerita seseorang di tengah kehidupan sebuah keluarga miskin. Dan, pemicunya adalah celetukan istri yang memberi komentar “kok tidak masuk akal, seorang mahasiswa pingin jadi tukang angon bebek!” Entah dia belum pernah melihat atau karena hal lain, aku pun membalas celetukan, namanya juga andai, maksudnya biar dia merasakan kehidupan keluarga tersebut. Bukan masalah tidak masuk akalnya.” Begitulan timpalku.
Entah mengapa terkelebat dibenakku ada rasa yang sedikit tidak enak pada saat melihat tayangan acara tersebut. Aku mulai mencari apakah itu? Pemikiranku berlanjut lalu membandingkan acara-acara sejenis yang melibatkan ‘kemiskinan’ pada intinya. Lalu masuklah kenangan sekitar 10 tahun yang lalu ketika aku masih menjadi mahasiswa disebuah universitas di Denpasar. Begini ceritanya:
Suatu hari (entah kapan tepatnya aku sangat lupa) aku berkunjung ke rumah seorang guruku (guru ngaji TPA) karena ada suatu keperluan. Ketika aku sudah dipersilakan duduk oleh sang anak, sambil menunggu pemilik rumah keluar, mataku memandang sekeliling ruang tamu, dan tak sengaja tertuju pada sebuah foto yang sangat artistik. Foto dengan latar belakang (mungkin temanya) adalah kemiskinan yang sangat mengiris hati. Seorang ibu tua renta yang dipunggungnya menggendong beban yang mungkin lebih berat dari berat kadannya yang tinggal kulit pembungkus tulang, sedang melewati sebuah jembatan yang sudah tak layak dilewati. Demikian artistiknya foto ukuran sekitar 60 x 40 cm itu, aku melihatnya dengan tertegun, sampai-sampai saat sang tuan rumah sudah keluar aku tak menyadarinya.
“Assalaamu’alaykum”,  sapanya.
‘Wa’alaykum salam warohmatulloohi wabarokaatuuh”, jawabku.
“Piye gid, kabare?, seperti biasa beliau menyapa dan seterusnya obrolan berlangsung sesuai dengan keperluanku. Hingga suatu saat akupun nyeletuk masalah foto artistik yang nempel menjadi penghias dinding ruang tamu. Mulai dari dapat dari mana sampai isi dari gambar dalam foto tersebut.
Ada satu hal menarik dari obrolan mengenai foto artistik itu, saat beliau berkata yaitu: “Bapak nggak terlalu ngerti, yang membuat menarik itu apakah fotografinya, atau obyeknya, yang pasti teman bapak memberi gurauan tentang foto ini, bukannya ini  yang namanya mengeksploitasi kemiskinan” dan kamipun tertawa bersama.
Itulah kisah 10 tahun yang lalu yang melintas berkelebat saat ngobrol bareng istriku tercinta tantang acara televisi yang membuat kita trenyuh dan penasaran.
Lalu apa menariknya? Tidak ada yang menarik, hanya saja aku jadi berpikir, setelah acara itu ditayangkan, apakah si miskin jadi berubah semakin baik kehidupannya, seberapa jauh perkembangan kehidupannya. Apakah sebanding dengan keuntungan yang diraih oleh stasiun televisi (karena rating tontonan) yang menayangkan dirinya sebagai aktor dadakan . Apakah sebanding dengan keuntungan sponsor yang meraup keuntungan karena produknya dikenal oleh penonton yang  menyukai acara ini (kayaknya banyak yang suka nonton ini kali ya?) Jadi ya ibaratnya ini adalah eksploitasi kemiskinan, dan penonton (termasuk aku dong) sering menghibur diri dari kerumitan hidup dengan menonton kemiskinan di depan mata, mendiskusikannya lalu berlalu begitu saja. Intinya adalah apakah ini Eksploitasi kemiskinan untuk keuntungan dan hiburan? Aaah ... jadi pingin nonton yang lain saja lah...

..selanjutnya ..