Tulisan ini mengalir begitu saja, dan bukan
didasari ilmiah. Hanya sekelumit
pemikiran yang mungkin tidak terlalu terarah dengan baik.
Berawal dari nonton acara di sebuah stasiun
televisi yang mengisahkan cerita seseorang di tengah kehidupan sebuah keluarga
miskin. Dan, pemicunya adalah celetukan istri yang memberi komentar “kok tidak
masuk akal, seorang mahasiswa pingin jadi tukang angon bebek!” Entah dia belum
pernah melihat atau karena hal lain, aku pun membalas celetukan, namanya juga andai,
maksudnya biar dia merasakan kehidupan keluarga tersebut. Bukan masalah tidak
masuk akalnya.” Begitulan timpalku.
Entah mengapa terkelebat dibenakku ada rasa yang
sedikit tidak enak pada saat melihat tayangan acara tersebut. Aku mulai mencari
apakah itu? Pemikiranku berlanjut lalu membandingkan acara-acara sejenis yang
melibatkan ‘kemiskinan’ pada intinya. Lalu masuklah kenangan sekitar 10 tahun
yang lalu ketika aku masih menjadi mahasiswa disebuah universitas di Denpasar.
Begini ceritanya:
Suatu hari (entah kapan tepatnya aku sangat lupa)
aku berkunjung ke rumah seorang guruku (guru ngaji TPA) karena ada suatu
keperluan. Ketika aku sudah dipersilakan duduk oleh sang anak, sambil menunggu
pemilik rumah keluar, mataku memandang sekeliling ruang tamu, dan tak sengaja tertuju
pada sebuah foto yang sangat artistik. Foto dengan latar belakang (mungkin
temanya) adalah kemiskinan yang sangat mengiris hati. Seorang ibu tua renta
yang dipunggungnya menggendong beban yang mungkin lebih berat dari berat
kadannya yang tinggal kulit pembungkus tulang, sedang melewati sebuah jembatan
yang sudah tak layak dilewati. Demikian artistiknya foto ukuran sekitar 60 x 40
cm itu, aku melihatnya dengan tertegun, sampai-sampai saat sang tuan rumah
sudah keluar aku tak menyadarinya.
“Assalaamu’alaykum”, sapanya.
‘Wa’alaykum salam warohmatulloohi wabarokaatuuh”,
jawabku.
“Piye gid, kabare?, seperti biasa beliau menyapa
dan seterusnya obrolan berlangsung sesuai dengan keperluanku. Hingga suatu saat
akupun nyeletuk masalah foto artistik yang nempel menjadi penghias dinding
ruang tamu. Mulai dari dapat dari mana sampai isi dari gambar dalam foto
tersebut.
Ada satu hal menarik dari obrolan mengenai foto
artistik itu, saat beliau berkata yaitu: “Bapak nggak terlalu ngerti, yang
membuat menarik itu apakah fotografinya, atau obyeknya, yang pasti teman bapak
memberi gurauan tentang foto ini, bukannya ini yang namanya mengeksploitasi kemiskinan” dan
kamipun tertawa bersama.
Itulah kisah 10 tahun yang lalu yang melintas
berkelebat saat ngobrol bareng istriku tercinta tantang acara televisi yang
membuat kita trenyuh dan penasaran.
Lalu apa menariknya? Tidak ada yang menarik, hanya
saja aku jadi berpikir, setelah acara itu ditayangkan, apakah si miskin jadi
berubah semakin baik kehidupannya, seberapa jauh perkembangan kehidupannya.
Apakah sebanding dengan keuntungan yang diraih oleh stasiun televisi (karena
rating tontonan) yang menayangkan dirinya sebagai aktor dadakan . Apakah
sebanding dengan keuntungan sponsor yang meraup keuntungan karena produknya
dikenal oleh penonton yang menyukai
acara ini (kayaknya banyak yang suka nonton ini kali ya?) Jadi ya ibaratnya ini
adalah eksploitasi kemiskinan, dan penonton (termasuk aku dong) sering
menghibur diri dari kerumitan hidup dengan menonton kemiskinan di depan mata,
mendiskusikannya lalu berlalu begitu saja. Intinya adalah apakah ini Eksploitasi
kemiskinan untuk keuntungan dan hiburan? Aaah ... jadi pingin nonton yang lain
saja lah...